Senin, 07 Oktober 2013

Kolak pelangi dan sholat Dhuha

Ramadhan pasti identik dengan pasar dadakan. Di antara kerumunan pedagang yang jumlahnya puluhan itu, terlihat seorang gadis bersama ibunya sedang berjualan kolak. Namanya Aisyah. Sekarang Aisyah dan ibunya menjadi pedagang takjil dadakan. Namun tidak setiap hari dagangan mereka habis terjual.

Suatu hari timbul pertanyaan di benak Aisyah.
“Bu, kenapa kolak itu warnanya selalu coklat, kenapa tidak pink atau warna lainnya?, ujar Aisyah kepada ibunya.
“Kolak itu warnanya coklat karena diberi gula jawa”, jawab ibu dengan penuh senyum.
“Bu, besok kita buat kolak dengan warna lainnya ya Bu”, kata Aisyah penuh semangat. Ibunya hanya tersenyum geli mendengar ideanaknya.

Kolak berwarna itu terus memenuhi kepala Aisyah. Ia ingin sekali idenya menjadi kenyataan. Jika minta uang kepada ibu, pasti ibu keberatan. Sedangkan uang sakunya sedang tidak ada. Tiba-tiba nasehat Bu Rita di sekolah berdengung di telinganya. “Sholat dhuha adalah sholatnya orang-orang kaya, karena dalam sholat dhuha kita meminta agar dilapangkan rezki, dimudahkan rezki, dan ditambah rezkinya. Setelah mengingat-ingat nasehat tersebut, langsung ia pergi ke kamar mandi nutuk berwudu. Dilaksanakannya sholat dhuha dua rakaat dan tak lupa berdoa. Tak lama setelah Aisyah selesai sholat, datanglah seorang tukang pos. Aisyah heran. Apakah gerangan?…
“Apa ini rumah Aisyah?, tanya si tukang pos.
“Benar Pak”, jawab Aisyah heran.
“Ini ada kiriman surat”, kata si tukang pos sambil menyodorkan sebuah amplop.

Dengan perasaan heran bercampur gugup dibawanya ampop misterius itu ke dalam rumah. Setelah dibuka isinya ternyata surat untuk pengambilan hadiah. Ia lupa beberapa hari yang lalu ia mengikuti lomba teka-teki silang di majalah. Bukan main senangnya hati Aisyah. Hadiahnya akan diambil di kantor pos kecamatan besok.

Keesokan harinya setelah pulang sekolah, Aisyah mengajak sahabatnya Rahmi dan Dewi.
“Rahmi, Dewi, ke kantor pos yuk”, ajak Aisyah penuh semangat.
“Mau kirim surat ya?”, Tanya Rahmi.
“Tidak, aku menang teka-teki silang di majalah, jadi hadiahnya diambil di kantor pos”, ujar Aisyah.
“Go to kantor pos”, Dewi memecah pembicaraan mereka dengan bahasa inggrisnya yang campur aduk.

Tanpa pikir panjang, mereka bertiga langsung pergi ke kantor pos kecamatan. Nasib Aisyah kurang beruntung, kantor pos sedang ramai. Terpaksa mereka sabar menunggu antrian habis.

Setelah satu jam menunggu, barulah giliran Aisyah. Disodorkannya surat itu ke petugas pos. Akhirnya surat hadiah itu sudah berubah wujud menjadai sejumlah uang.
“Kita pulang yuk”, ajak Dewi.
“Nanti dulu, selanjutnya kita ke pasar”, jawab Aisyah.
“Mau beli apa”, tanya Rahmi heran.
“Aku mau beli bahan kolak”, jawab Aisyah.

Mereka langsung ke pasar di dekat kantor pos. Pencarian bahan kolak dimulai. Pisang, kelapa, dan gula telah di tangan mereka. Tinggal dua bahan lagi, perisa buah dan ubi ungu.
“Kolak kok pakai rasa buah”, Tanya Weni.
“Ini kolak yang beda dari yang lain”, jawab Aisyah penuh semangat.

Perisa buah telah di tangan mereka, namun ubi yang di cari tak kunjuang terlihat. Akhirnya setelah berputar-putar selama setengah jam di pasar ubi ungu pun didapat. Mereka pun pulang sambil menahan rasa lapar dan haus yang semakin menyiksa.

Keesokan paginya pembuatan kolak dimulai. Rahmi dan Dewi sengaja datang ke rumah Aisyah karena penasaran dengan kolak Aisyah.
“Ooo, jadi ini gunanya perisa buah”, kata Dewi mulai mengerti.
“Warnanya bagus-bagus ya Aisyah, terutama yang ini”, kata Rahmi sambil menunjuk ke arah kolak yang diberi ubi ungu.
Kolak Aisyah sangat memanjakan mata. Warnanya beragam membuat mata dan perut menjadi lapar.

Sore itu kolak Aisyah dibawa ke pasar. Kolak Aisyah dijual bersama dengan kolak ibunya. Risau risau mulai menghampiri Aisyah. Kolaknya belum ada yang mencoba.
“Mudah-mudahan kolaknya enak”, kata Dewi menghibur Aisyah.
“Amin”, jawab Aisyah dan Dewi bersamaan.

Ternyata orang pertama yang mencoba kolak Aisyah adalah seorang anak kecil. Dengan gugup Aisyah menyodorkan bungkusan kolak. Ternyata anak itu lansung memakannya.
“Ia tidak puasa”, pikir Aisyah dalam hati. Hati Aisyah mulai risau. Apakah kolaknya memuaskan.
“Kolaknya enak, beli dua bungkus lagi Kak”, kata anak itu sambil tersenyum.
Raut waja Aisyah berubah senang, rasa risaunya hilang lenyap tertelan bersama kolak yang di makan anak tersebut.
“Kolak pelangi, kolak pelangi, beli, beli!”, suara cempreng Dewi ikut meramaikan pasar.

Satu persatu pelanggan berdatangan. Lama kelamaan tempat Aisyah berjualan seperti sebutir gula yang di serbu ribuan semut kelaparan. Dalam hitungan menit kolak Aisyah Habis terjual. Bahkan ada orang yang tidak kebagian.
“Besok kolak ibu dibuat seperti mu ya Aisyah”, kata ibu dengan mata yang berkaca-kaca.
“Baik Bu”, jawab Aisyah.
“Rahmi, Dewi, ini kolak untuk kalian, ini ungkapan rasa terima kasihku”, kata Aisyah sambil memberikan dua bungkus kolak kepada mereka.
“Kolakmu pasti enak”, kata Dewi menambahkan.

Bisnis kolak Aisyah dan ibunya semakin berkembang. Bahkan sudah ada tetangganya yang memesan seratus porsi untuk buka bersama di rumahnya. Ternyata dibalik kesuksesan kolak pelangi Aisyah ia semakin rajin melaksanakan sholat dhuha dan dari keuntungan berjualan kolak Aisyah sekeluarga dapat membeli baju lebaran. Hal yang mungkin sangat asing baginya, karena penghasilan ibunya hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Ramadhan kali ini adalah Ramadhan yang sangat berkah bagi Aisyah. Berawal dari sebuah idea aneh dan dipadu dengan keampuhan sholat dhuha, ia pun dapat membahagiakan keluarganya di hari lebaran.

Cerpen Karangan: Farhan Ramadhan
Facebook: Reben Naq Patar
Nama saya farhan ramadhan, bisa di panggil farhan atau yang lebih akrab reben, hehehe, saya bersekolah di SMA N 1Baso, sumatera barat,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar