“ Niar, sudah beres semua yang akan dibawa?”
“Sudah engku”
Pagi
ini, udara kota Medan yang sejuk akan mereka hirup dari atas delman.
Gemeretak roda kayu melintasi jalan beraspal dari jalan Antara ke
stasiun Kereta Api. Badan penumpang terhuyung, berhoyak seirama dengan
hentakan empat tungkai kuda penarik. Mardzuki duduk berhadapan dengan
istrinya. Tepat dibelakang kusir tampak seorang gadis kecil rambut
kepang dua, setentangnya terlihat seorang anak lelaki yang lebih muda.
Samping kiri kusir,dengan girangnya tangan mungil anak laki-laki empat
tahunan, menggamit ragu tali kemudi yang di kuasai Pak Man, kusir
berkumis hitam tebal melintang diatas bibir.
“ Berapa lama engku
verlof?”
tanya Kusir, usai melecut punggung kudanya yang coklat mengkilat.
Sekali-kali terdengar suara “ckckckckckc”, kecepatan lari kuda akan
lebih cepat bila sang kusir mengeluarkan suara seperti ini. Anak,
disebelah Pak Kusir,akan meniru. Berulang kali “ckckckckckc”
“ Dua bulan Man, sudah lama saya tak menjenguk kampung-dua belas tahun sudah”
***
Tepat
pukul satu siang. Kereta berangkat meninggalkan kota Medan. Membawa dan
mengantarkan keluarga Mardzuki dan penumpang lainnya ke tujuan
masing-masing. Lintasan rel yang membujur mengular akan melintasi
Batang Kuis-Lubuk Pakam-Sei Rampah-Tebing Tinggi. Kereta ke Siantar
melaju cepat. Sepanjang jalan yang dilalui nampak sawah menghijau
kuning. Disetiap halte stasiun sepanjang perjalanan akan terlihat calon
penumpang , keluarga yang mengantar ataupun orang-orang yang menjemput.
Di jalan raya yang kadang-kadang sejajar dengan rel sering terlihat
kendaraan berselisih. Iring-mengiringi. Di stasiun Tebing Tinggi,
kereta berhenti sekitar setengah jam, mengaso, naik turunkan
penumpang.
***
Angin dingin terasa menusuk kulit. Warna
langit di atas kota Siantar tampak kelam, gumpalan-gumpalan awan
bergerak. Sinar matahari habis ditelan senja. Lampu-lampu dari loteng
atap stasiun terang benderang nyalanya. Mardzuki berdiri didepan pintu
gerbong menanti istri, anak beserta barang-barang bawaan. Satu koper
hitam selutut disandarkan di kaki kirinya. Istri menjinjing tas anyaman
daun pandan yang dilapisi pewarna biru merah. Terlihat kepala termos
berbahan almunium, mengkilat tersumbul dekat pegangan tas. Rantang empat
tingkat penyimpal bekal menyesak seperti hendak keluar dari tas itu. Si
kecil berumur empat tahun lebih dulu turun gerbong daripada ibunya.
Terakhir melompatkan kaki dari gerbong ke lantai stasiun, si gadis
rambut kepang dua.
“ Engku! Hari sudah senja, dimana kita
bermalam?” bertanya sambil membetulkan tengkuluk putih penutup
kepalanya. Belum sempat Mardzuki menjawab tanya istrinya, si Kecil sudah
menimpali “ Iya
abak, dingin. Sairin tidak tahan
abak”
suaranya memelas berharap segera mencari penginapan. Sembari tapak
tangan kanan ia gosok-gosokan ke tangan kiri, naik turun dari siku ke
punggung jari, lalu naik dari jari sampai pangkal lengan. Gosokan untuk
mengusir udara dingin yang begitu gigil untuk anak-anak.
Mardzuki
mengangkat pegangan koper tua itu, langkah mulai di ayunnya. Istri dan
anak mengekor di belakang.“ Kita akan menginap di rumah Engku Sjamsuddin
jurutulis disini di Siantar ini, bekas mantri politie di Lubuk Pakam.
Dia
urang awak juga ” Mardzuki bicara, mata dan langkahnya
tetap ke depan menuju pintu keluar stasiun. Asap tipis tampak menguap
keluar dari mulutnya saat berbicara. Tapi, bukan dia saja, tiap orang
yang berbicara di stasiun, seperti itu. Tak terkecuali saat istri dan
anaknya bertanya tadi.
“Rumahnya tak jauh dari sini, kita akan
menumpang delman untuk sampai kesana” sambung Mardzuki. Langkah ia
hentikan, untuk beberapa sekon menarik napas. Pegangan koper itu kini
beralih dari kanan ke tangan kiri.
***
“ Sampaikan salam
saya pada sanak saudara dan handai taulan di kampung, beginilah
parasaian anak rantau” jabatan tangan kanan tuan rumah begitu erat.
Dengan telapak tangan kirinya, Mardzuki menepuk-nepuk punggung tangan
kanan Engku Syamsuddin. Tepukan hangat. Ada yang disalurkan dari
segumpal daging dalam dada mengalir ke saraf-saraf telapak tangan.
Tepukan untuk mengungkapkan rasa terdalam atas kebaikan Engku Sjamsuddin
menyediakan kamar tidur, kemewahan hidangan makan malam serta sarapan
tadi pagi. Terlebih ungkapan untuk
ota lamak
mengenang masa kecil di kampung. Ungkapan itu juga bisa ditangkap dari
pancaran sepasang bola matanya yang terbuka lebih lebar pagi ini.
***
Bonjol
masih jauh. Perjalanan akan dilanjutkan dengan menumpang bus, hanya
sampai ke Parapat. Tahun ini, tahun 1920, jalan yang dibuka dan
menghubungkan Parapat ke Balige belum bisa di lalui oleh bus. Jalan ini
juga yang direncanakan akan menghubungkan Sumatera Timur dengan Sumatera
Barat. Kini masih dalam pengerjaan oleh
gouvernement.
Perjalanan kapal boat berpenumpang enam puluhan orang adalah
satu-satunya pilihan. Tak ada pilihan lain ke Balige dari Parapat atau
sebaliknya, Parapat-Balige. Pada salah satu sisi pinggiran Danau Toba
itulah, dibangun pelabuhan kecil.
Dipelabuhan kecil itu orang akan
berdesak-desakan,berebut masuk untuk mendapatkan tempat duduk.
Desak-desakan itu semakin riuh karena penumpang yang baru tiba, berebut
pula hendak turun dan keluar dari kapal. Niar istri Mardzuki masuk ke
kapal sambil menggendong si kecil, semua barang bawaan penuh tak
beraturan di genggaman Mardzuki. Keringat mengucur deras. Kelima anak
beranak dapat duduk di bagian tengah badan kapal. Pada lambung kapal
kecil itu tertulis “Siantar Madjoe”.
Jam tangan berbahan nikel
asli yang melingkar di pergelangan kiri Mardzuki menunjukkan pukul
sebelas. Mesin kapal menderu bunyinya. Perlahan dan bergerak sangat
lambat, membawa penumpang yang penuh sesak ditambah lagi dengan tumpukan
barang yang menggunung dibagian atapnya. Pelabuhan kecil itu semakin
menjarak dari ekor kapal. Semakin jauh hingga tak tampak lagi dari
pandangan. Penumpang dengan leluasa dapat melihat segala yang ada di
luar kapal, karena sisi-sisi kapal memang terbuka, kecuali ruangan
khusus nakhoda. Selain ada dinding pembatas khusus, disana juga terdapat
jendela berkaca.
Penumpang asik dengan dirinya sendiri. Pada mata
yang memandang, Danau Toba kirimkan biru airnya, sepoi-sejuk dan
nyaman hembusan udaranya, hijau perbukitan disekeliling danau seperti
benteng kokoh yang didirikan khusus untuk menjaga segala yang terdapat
disekeling danau. Pada lereng-lereng perbukitan satu dua terlihat rumah
sebesar korek api saja rasanya. Pulau Samosir! Yaa…Pulau Samosir. Dari
atas kapal ini kita juga dapat melihatnya. Hitam kecoklatan atap-atap
rumah tampak mengelompok letaknya, kuda dan kerbau berkeliaran.
Samping
kiri Mardzuki, duduk seorang laki-laki seumurannya, kepalanya
ditungkupi kupiah hitam condong beberapa derajat ke kanan. Jas hitam
tampak elegan dengan paduan kemeja putih didalamnya. Sepatu hitam bahan
kulit tak semengkilap rambut si kecil yang klimis diminyaki pomade.
Maklum debu yang terbang disapu tapak-tapak kaki penumpang di pelabuhan,
kini menempel disekitar sepatu itu. Sarung coklat petak-petak tenun
berbahan lembut melingkar di lehernya. Satu ujungnya menjuntai ke dada,
ujung lainnya ke punggung dibawah tengkuk.
“ Engku, tak jauh lagi
kita akan melintasi Tanjung Soekea” ucapnya pada Mardzuki setelah
beberapa menit saling diam dengan pikiran masing-masing.” Biasanya pada
bulan Juni ombak disekitar Tanjung ini akan lebih besar. Terkadang air
danau menyembur masuk ke geladak kapal membasahi apa saja yang ada” ia
mengingatkan Mardzuki atas pengalamannya yang bolak-balik sekali sebulan
menumpang kapal ini, untuk membawa barang dagangannya dari Medan ke
Balige.
“ Kira-kira jam berapa kita akan tiba di Balige, Engku”
tanya Mardzuki yang penuh percaya dan yakin akan pengetahuan yang
dimiliki lawan bicaranya. “ Pukul lima petang, Insyallah” singkat
jawabnya sembari menarik kotak rokok dari saku jasnya.
***
Langit
sama gelapnya seperti kemarin saat turun dari kereta. Rintik rinai
hujan yang turun disekitar pelabuhan Balige. Rinai itu memaksa penumpang
mempercepat langkah mencari tempat berteduh. Ribut dan desakan
penumpang tidak seperti hendak naik di Parapat empat jam lalu. Penumpang
di pelabuhan ini lebih teratur, karena diawasi dan dijaga oleh seorang
mantri politie, dua orang anak buahnya. Petang hari juga memberikan
kesempatan pada nakhoda dan anak buah kapal untuk tidak tergesa-gesa.
Kapal akan disandarkan sampai pagi datang esok hari.
Penumpang dan
barang bawaannya akan melenggang aman keluar pelabuhan setelah melewati
pemeriksaan oleh ketiga polisi yang bertugas itu. Meski pelabuhan ini
hanya seluas lima puluh meter persegi. Meski papan lantai sudah banyak
yang lapuk dan paku-paku
tergurajai disana sini, pelabuhan ini
merupakan pelabuhan penting untuk bisa dari dan ke Balige dari Medan.
Tentunya sangat mempengaruhi kelancaran distribusi barang kebutuhan
untuk ke Sibolga, Nias dan ke arah lebih Barat.
“ Pemeriksaan di
sini kurang teliti” terdengar suara orang antri tepat dibelakang
Mardzuki “Karena yang di periksa hanya koper dan bungkusan , serta saku
pakaian yang melekat saja” sambungnya. Suara itu dikenal Mardzuki, itu
suara yang mengisi waktunya bercerita didalam kapal selama dalam
perjalanan “ Barang gelap seumpama Opium bisa saja di selipkan dibagian
dalam pakaian” penjelasannya sambil terus melangkah beringsut mengurai
antrian. “ Dua bulan lalu, seorang Cina rambut bertaucang dan seorang
Batak tertangkap dan ditahan di pelabuhan ini. Saya baca beritanya di
koran “Pewarta Deli”.
“ Apa salah mereka” tanya Mardzuki ingin tahu.
“
Bungkusan Opium mereka selipkan di antara pakaian dalam koper mereka.
Koper itu ia upahkan dibawa oleh penumpang yang terakhir diperiksa dalam
antrian oleh petugas. Mereka berdua lebih dulu lolos dari pemeriksan
dan pura-pura menunggu di kedai samping agent kantor kecil “ Cardford”
yang akan membawa penumpang ke Sibolga.
Panjang lebar laki-laki berperawakan wibawa, teman ma
ota-nya
bercerita membuang jenuh dalam panjang mengularnya antrian pemeriksaan.
Giliran Niar, istri Mardzuki diperiksa. Menyusul tiga orang anak
mereka, dibelakangnya.
“ Alhamdulillah, Engku. Saya duluan” teriak
Mardzuki padanya. Diantara keduanya terlihat ketiga polisi yang
bertugas tajam dan liar mata mereka memperhatikan gerak-gerik penumpang
yang belum diperiksa.
Penumpang-penumpang yang sudah turun dan
mengaso di kedai-kedai sekitar pelabuhan dikejutkan dengan sorak
penumpang lain yang masih antri.
“ Apa yang dibawanya?”
“Apa yang dibawanya?”
Tanya
itu memicu suara yang lebih ramai. “ Penjahat rupanya?” celetuk seorang
dalam kedai yang duduk di hadapan barisan tempat duduk keluarga
Mardzuki. Gelas berisi keruhnya teh yang terangkat hendak di minumnya,
sekilat ia letakkan lagi ke dasar tadah bening di atas meja kayu papan
berserabut tanpa ketaman.
Pandangan ia lempar ke arah suara riuh
dan kerumunan orang. Ia balik badan, agar leluasa memenuhi nafsu
penasarannya atas apa yang sedang terjadi di pelabuhan Balige petang
ini.
***
Diatas bangku “Cardford” untuk penumpang kelas
satu yang ditempatinya Mardzuki terus bercerita pada pikiran dan hatinya
sendiri. Cardford itu akan mendaki-menuruni jalan lintas Balige-
Sibolga
“Sungguh tak percaya saya” gumam hatinya.
“ Peci
yang dipakainya, sarung yang diselempang dilehernya, wibawa pakaiannya.
Tak percaya. Sungguh saya tak percaya”. Ingatannya mengais-ngais rupa
dan tampilan laki-laki di atas kapal tadi, kini entah kemana ia dibawa
mantri politie.
Padang, 21052014
Catatan :
Verlof : istilah cuti dalam bahasa Belanda
Maota Lamak : Cerita panjang lebar
Tergurajai : Tak beraturan disana sini
by : Ust Arbi syafri