Selasa, 30 September 2014

NIKMATNYA RASA SAKIT



Rasa sakit tidak selamanya tidak berharga, sehingga harus  selalau dibenci. Sebab, mungkin saja rasa sakit itu justru akan mendatangkan kebaikan bagi seseorang.
                Biasanya, ketulusan sebuah  doa muncul tatkala rasa sakit mendera. Demikian pula dengan ketulusan tasbih  yang senantiasa terucap saat rasa sakit terasa. Adalah jerih payah dan beban berat saat menuntut ilmulah yang telah mengantarkan seorang menjadi ilmuwan terkemuka. Ia telah bersusah payah di awal perjalanannya, sehingga ia bisa menikmati kesenangan di ahirnya. Usaha keras seorang Musisi memilih kata kata untuk bait bait syairnya telah menghasilkan sebuah karya sastra yang sangat menawan. Ia, dengan hati,urat saraf, dan darahnya telah larut bersama kerja kerasnya itu, sehingga syair-syairnya mampu menggerakkan perasaan dan menggoncangkan hati. Upaya keras seorang penulis telah menghasilkan tulisan yang sangat menarik dan penuh dengan ‘ibrah, contoh-contoh dan perunjuk.
                Lain halnya dengan seorang pelajar yang hidup foya-foya, tidak aktif,tak pernah terbelit masalah,dan tidakpernah pula tertimpa musibah. Ia akan menjadi orang yang malas,enggan bergerak, dan mudah putus asa.
                Seorang musisi yang tak pernah merasakan pahitnya berusaha dan tidak meneguk pahitnya hidup, maka untaian qosidah-qosidah-nya hanya keluar dari lisannya, bukan dari perasaannya. Apa yang ia utarakan hanya sebatas penalarannya saja , dan bukan dari hati nuraninya.
                Contoh pola kehidupan  yang paling baik adalah kehidupan kaum mukminin generasi awal. Yaitu, mereka  yang hidup pada masa masa  kerasulan, lahirnya agama, dan di awal masa perutusan. Mereka adalah orang orang  yagn memiliki keimanan yang kokoh,hati yang baik,bahasa yang bersahaja dan ilmu yang luas. Mereka merasakan keras dan pedihnya kehidupan. Mereka pernah merasa kelaparan, miskin, diusir, disakiti dan harus rela meninggalkan semua yang di cintai,disiksa, bahkan di bunuh. Dan  karena semua itu pula mereka menjadi orang orang pilihan. Mereka menjadi tanda-tanda kesucian, panji kebaikan, dan simbol pengorbanan.

                “yang demikian itu ialah karena mereka ditempa kehausan, kepayahan dan kelaparan  pada jalan Allah, dan tidak pula menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan ditulikanlah bagi mereka  dengan yang demikian itu suatu amal salih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. ”                                              (QS.At-Taubah:120)

                Di dunia ini banyak orang yang berhasil mempersembahkan karya terbaiknya di karenakan mau bersusah payah. Al Mutanabbi, misalnya, ia sempat mengidap rasa demam yang amat sangat sebelum ia berhasil menciptakan syair yang indah berikut ini

                Wanita yang mengunjungiku seperti memendam malu,
                Ia hanya mengunjungiku di  gelapnya malam

Syahdan, an-Nabighah sempat di ancam akan di bunuh olerh Nu’man ibn al-Mundzir sebelum akhirnya  mempersembahkan bait syair berikut ini:

                Engkau matahari, dan raja-raja  yang lain bintang-bintang
tatkala engkau terbit ke permukaan
bintang bintang itupun lenyap tenggelam 

Di dunia ini, banyak orang yang hanya karena terlebih dahulu bersusah payah dalam masa mudanya. Oleh karena itu, tak usah bersedih bila anda bersusah payah, dan tak usah takut dengan beban hidup,sebab  mungkin saja beban hidup itu akan menjadi kekuatan bagimu serta akan menjadi sebuah kenikmatan pada suatu hari nanti.  Jika anda hidup dengan hati yang berkobar, cinta yang membara, dan jiwa yang bergelora , akan lebih baik dan terhormat daripada hidup dengan perasaan yang dingin, semangat yang layu dan jiwa yang lemah.
  

Minggu, 07 September 2014

Pelabuhan Balige (Cerpen Arbi Syafri Tanjung-terbit di Harian Padang Ekspres-Minggu 15 Juni 2014,hlm.18)

“ Niar, sudah beres semua yang akan dibawa?”
“Sudah engku”
Pagi ini, udara kota Medan  yang sejuk akan mereka hirup dari atas delman. Gemeretak roda kayu  melintasi  jalan beraspal dari jalan Antara ke stasiun Kereta Api. Badan penumpang terhuyung, berhoyak seirama dengan hentakan empat tungkai kuda penarik. Mardzuki  duduk berhadapan dengan istrinya. Tepat dibelakang kusir tampak seorang gadis kecil rambut kepang dua, setentangnya  terlihat seorang anak lelaki yang lebih muda. Samping kiri kusir,dengan girangnya tangan mungil anak laki-laki empat tahunan, menggamit ragu tali kemudi yang di kuasai Pak Man, kusir berkumis hitam tebal melintang diatas bibir.
“ Berapa lama engku verlof?” tanya Kusir, usai melecut punggung kudanya yang  coklat mengkilat. Sekali-kali terdengar suara “ckckckckckc”, kecepatan lari kuda akan lebih cepat bila sang kusir mengeluarkan suara seperti ini. Anak, disebelah Pak Kusir,akan meniru. Berulang kali “ckckckckckc”
“ Dua bulan Man, sudah lama saya tak menjenguk kampung-dua belas tahun sudah”
***
Tepat pukul satu siang. Kereta berangkat meninggalkan kota Medan. Membawa dan mengantarkan  keluarga Mardzuki  dan penumpang lainnya ke tujuan masing-masing. Lintasan rel yang membujur mengular akan  melintasi  Batang Kuis-Lubuk Pakam-Sei Rampah-Tebing Tinggi. Kereta ke Siantar melaju cepat. Sepanjang jalan yang dilalui nampak sawah menghijau kuning. Disetiap halte  stasiun sepanjang perjalanan akan terlihat calon penumpang , keluarga yang mengantar ataupun orang-orang yang menjemput. Di jalan raya yang kadang-kadang sejajar dengan rel sering terlihat kendaraan berselisih. Iring-mengiringi. Di stasiun Tebing Tinggi, kereta  berhenti  sekitar setengah jam, mengaso, naik turunkan penumpang.
***
Angin dingin terasa menusuk kulit. Warna langit di atas kota Siantar tampak kelam, gumpalan-gumpalan awan bergerak. Sinar matahari habis ditelan senja. Lampu-lampu dari loteng atap stasiun terang benderang nyalanya. Mardzuki berdiri didepan pintu gerbong menanti istri, anak beserta barang-barang bawaan. Satu koper hitam selutut disandarkan di kaki kirinya. Istri menjinjing tas anyaman daun pandan yang dilapisi pewarna biru merah. Terlihat kepala termos berbahan almunium, mengkilat tersumbul dekat pegangan tas. Rantang empat tingkat penyimpal bekal menyesak seperti hendak keluar dari tas itu. Si kecil berumur empat tahun lebih dulu turun gerbong daripada ibunya. Terakhir melompatkan kaki dari gerbong ke lantai  stasiun, si gadis rambut kepang dua.    
“ Engku! Hari sudah senja, dimana kita bermalam?” bertanya sambil membetulkan tengkuluk putih  penutup kepalanya. Belum sempat Mardzuki menjawab tanya istrinya, si Kecil sudah menimpali “ Iya abak, dingin. Sairin tidak tahan abak” suaranya memelas berharap segera mencari penginapan. Sembari tapak tangan kanan ia gosok-gosokan ke tangan kiri, naik turun dari siku ke punggung jari, lalu naik dari jari sampai pangkal lengan. Gosokan untuk mengusir udara dingin yang begitu gigil untuk anak-anak.
Mardzuki mengangkat pegangan koper tua itu, langkah mulai di ayunnya. Istri dan anak mengekor di belakang.“ Kita akan menginap di rumah Engku Sjamsuddin jurutulis  disini di Siantar ini, bekas mantri politie di Lubuk Pakam. Dia urang awak juga ” Mardzuki bicara, mata dan langkahnya tetap ke depan menuju pintu keluar stasiun. Asap tipis tampak menguap keluar dari mulutnya saat berbicara. Tapi, bukan dia saja, tiap orang yang berbicara di stasiun, seperti itu. Tak terkecuali saat istri dan anaknya bertanya tadi.
“Rumahnya tak jauh dari sini, kita akan menumpang delman untuk sampai kesana” sambung Mardzuki. Langkah ia hentikan, untuk beberapa sekon menarik napas. Pegangan koper itu kini beralih dari kanan ke tangan kiri.
***
 “ Sampaikan salam saya pada sanak saudara dan handai taulan di kampung, beginilah parasaian anak rantau” jabatan tangan kanan tuan rumah begitu erat. Dengan telapak tangan kirinya, Mardzuki menepuk-nepuk punggung tangan kanan Engku Syamsuddin. Tepukan hangat. Ada yang disalurkan dari segumpal daging dalam dada mengalir ke saraf-saraf telapak tangan. Tepukan untuk mengungkapkan rasa terdalam atas kebaikan Engku Sjamsuddin menyediakan kamar tidur, kemewahan hidangan makan malam serta sarapan tadi pagi. Terlebih ungkapan untuk ota lamak  mengenang masa kecil di kampung. Ungkapan itu juga bisa ditangkap dari pancaran sepasang bola matanya yang terbuka lebih lebar pagi ini.
***
Bonjol masih jauh. Perjalanan akan dilanjutkan dengan menumpang bus, hanya sampai ke Parapat. Tahun ini, tahun 1920, jalan yang dibuka dan menghubungkan Parapat ke Balige belum bisa di lalui oleh bus. Jalan ini juga yang direncanakan akan menghubungkan Sumatera Timur dengan Sumatera Barat. Kini masih dalam pengerjaan oleh gouvernement. Perjalanan kapal boat berpenumpang enam puluhan orang adalah satu-satunya pilihan. Tak ada pilihan  lain ke Balige dari Parapat atau sebaliknya, Parapat-Balige. Pada salah satu sisi pinggiran Danau Toba itulah, dibangun pelabuhan kecil.
Dipelabuhan kecil itu orang akan berdesak-desakan,berebut masuk untuk mendapatkan tempat duduk. Desak-desakan itu semakin riuh karena penumpang yang baru tiba, berebut pula hendak turun dan keluar dari kapal. Niar istri Mardzuki masuk ke kapal sambil menggendong si kecil, semua barang bawaan penuh  tak beraturan di genggaman Mardzuki. Keringat mengucur deras. Kelima anak beranak dapat duduk di bagian tengah badan kapal. Pada lambung kapal kecil itu tertulis  “Siantar Madjoe”.
Jam tangan berbahan nikel asli yang melingkar di pergelangan kiri Mardzuki menunjukkan pukul sebelas. Mesin kapal menderu bunyinya. Perlahan dan bergerak sangat lambat, membawa penumpang yang penuh sesak ditambah lagi dengan tumpukan barang yang menggunung dibagian atapnya. Pelabuhan kecil itu semakin menjarak dari ekor kapal. Semakin jauh hingga tak tampak lagi dari pandangan. Penumpang dengan leluasa dapat melihat segala yang ada di luar kapal, karena  sisi-sisi kapal memang terbuka, kecuali ruangan khusus nakhoda. Selain ada dinding pembatas khusus, disana juga terdapat jendela berkaca.
Penumpang asik dengan dirinya sendiri. Pada mata yang memandang, Danau Toba kirimkan biru airnya, sepoi-sejuk dan nyaman  hembusan udaranya, hijau perbukitan disekeliling danau seperti benteng kokoh yang didirikan khusus untuk menjaga segala yang terdapat disekeling danau. Pada lereng-lereng perbukitan satu dua terlihat rumah sebesar korek api saja rasanya. Pulau Samosir! Yaa…Pulau Samosir. Dari atas kapal ini kita juga dapat melihatnya. Hitam kecoklatan atap-atap rumah tampak mengelompok letaknya, kuda dan kerbau berkeliaran.
Samping kiri Mardzuki, duduk seorang laki-laki seumurannya, kepalanya ditungkupi kupiah hitam condong beberapa derajat ke kanan. Jas hitam tampak elegan dengan paduan kemeja putih didalamnya. Sepatu hitam bahan kulit tak semengkilap rambut si kecil yang klimis diminyaki pomade. Maklum debu yang terbang disapu tapak-tapak kaki penumpang di pelabuhan, kini menempel disekitar sepatu itu. Sarung coklat petak-petak tenun berbahan lembut melingkar di lehernya. Satu ujungnya menjuntai ke dada, ujung lainnya ke punggung dibawah tengkuk.
“ Engku, tak jauh lagi kita akan melintasi Tanjung Soekea” ucapnya pada Mardzuki setelah beberapa menit saling diam dengan pikiran masing-masing.” Biasanya pada bulan Juni ombak disekitar Tanjung ini akan lebih besar. Terkadang air danau menyembur masuk ke geladak kapal membasahi apa saja yang ada” ia mengingatkan Mardzuki atas pengalamannya yang bolak-balik sekali sebulan menumpang kapal ini, untuk membawa barang dagangannya dari Medan ke Balige.
“ Kira-kira jam berapa kita akan tiba di Balige, Engku” tanya Mardzuki yang penuh percaya dan yakin akan pengetahuan yang dimiliki lawan bicaranya. “ Pukul lima petang, Insyallah” singkat jawabnya sembari menarik kotak rokok dari saku jasnya.   
***
Langit sama gelapnya seperti kemarin saat turun dari kereta. Rintik rinai hujan yang turun disekitar pelabuhan Balige. Rinai itu memaksa penumpang mempercepat langkah mencari tempat berteduh. Ribut dan desakan penumpang tidak seperti hendak naik di Parapat empat jam lalu. Penumpang di pelabuhan ini lebih teratur, karena diawasi dan dijaga  oleh seorang mantri politie, dua orang anak buahnya. Petang hari juga memberikan kesempatan pada nakhoda dan anak buah kapal untuk tidak tergesa-gesa. Kapal akan disandarkan sampai pagi datang esok hari.
Penumpang dan barang bawaannya akan melenggang aman keluar pelabuhan setelah melewati pemeriksaan oleh ketiga polisi yang bertugas itu. Meski pelabuhan ini hanya seluas lima puluh meter persegi. Meski papan lantai sudah banyak yang lapuk dan paku-paku tergurajai disana sini, pelabuhan ini merupakan pelabuhan penting untuk bisa dari dan ke Balige dari Medan. Tentunya sangat mempengaruhi kelancaran distribusi barang kebutuhan untuk ke Sibolga, Nias dan ke arah lebih Barat.
“ Pemeriksaan di sini kurang teliti” terdengar suara orang antri tepat dibelakang Mardzuki “Karena yang di periksa hanya koper dan bungkusan , serta saku pakaian yang melekat saja” sambungnya. Suara itu dikenal Mardzuki, itu suara yang mengisi waktunya bercerita didalam kapal selama dalam perjalanan “ Barang gelap seumpama Opium bisa saja di selipkan dibagian dalam pakaian” penjelasannya sambil terus melangkah beringsut mengurai antrian. “ Dua bulan lalu, seorang Cina rambut bertaucang dan seorang Batak tertangkap dan ditahan di pelabuhan ini. Saya baca  beritanya di koran “Pewarta Deli”.
“ Apa salah mereka” tanya Mardzuki  ingin tahu.
“ Bungkusan Opium mereka selipkan di antara pakaian dalam koper mereka. Koper itu ia upahkan dibawa oleh penumpang yang terakhir diperiksa dalam antrian oleh petugas. Mereka berdua lebih dulu lolos dari pemeriksan dan pura-pura menunggu di kedai samping agent kantor kecil “ Cardford” yang akan membawa penumpang ke Sibolga.
Panjang lebar laki-laki berperawakan wibawa, teman maota-nya bercerita membuang jenuh dalam panjang mengularnya antrian pemeriksaan. Giliran Niar, istri Mardzuki diperiksa. Menyusul tiga orang anak mereka, dibelakangnya.
“ Alhamdulillah, Engku. Saya duluan” teriak Mardzuki padanya. Diantara keduanya terlihat ketiga polisi yang bertugas tajam dan liar mata mereka memperhatikan gerak-gerik penumpang yang belum diperiksa.
Penumpang-penumpang yang sudah turun dan mengaso di kedai-kedai sekitar pelabuhan dikejutkan dengan sorak penumpang lain yang masih antri.
“ Apa yang dibawanya?”
“Apa yang dibawanya?”
Tanya itu memicu suara yang lebih ramai. “ Penjahat rupanya?” celetuk seorang dalam kedai yang duduk di hadapan barisan tempat duduk keluarga Mardzuki. Gelas berisi keruhnya teh yang terangkat hendak di minumnya, sekilat ia letakkan lagi ke dasar tadah bening di atas meja kayu papan berserabut tanpa ketaman.
Pandangan ia lempar ke arah suara riuh dan kerumunan orang. Ia balik badan, agar leluasa memenuhi nafsu penasarannya atas apa yang sedang terjadi di pelabuhan Balige petang ini.
***  
Diatas bangku “Cardford” untuk penumpang kelas satu yang ditempatinya Mardzuki terus bercerita pada pikiran dan hatinya sendiri. Cardford itu akan mendaki-menuruni jalan lintas Balige- Sibolga
“Sungguh tak percaya saya” gumam hatinya.
“ Peci yang dipakainya, sarung yang diselempang dilehernya, wibawa pakaiannya. Tak percaya. Sungguh saya tak percaya”. Ingatannya mengais-ngais rupa dan tampilan laki-laki di atas kapal tadi, kini entah kemana ia dibawa mantri politie.

Padang, 21052014
Catatan :
Verlof                          : istilah cuti dalam bahasa Belanda
Maota Lamak              : Cerita panjang lebar
Tergurajai                   : Tak beraturan disana sini

by : Ust Arbi syafri